Minggu, 20 Desember 2015

Cerpen "Together. Forever?"

Together. Forever?

*Di tempat inilah ia selalu bercerita denganku, berbagi tawa dan juga tangisan.*

Terdengar sayup-sayup derap suara hentakan sepatu menuju ke tempat itu. Tak perlu ku ragukan, itu pasti dia. Ditempat inilah aku selalu menunggunya, mendengar keluh kesahnya, mendengar celotehannya dan merasakan hangat kasih sayangnya. Terkadang aku hanya tersenyum simpul menanggapinya, dan itu hanya akan membuatnya kesal. Aku suka melihatnya kesal seperti itu. Bibir mungilnya yang selalu mengerucut, dahinya yang selalu berkerut, dan sorot matanya yang terlihat kesal. Aku ingin merasakan ini selamanya. Pasti akan terasa indah…
BUK!!!
Dengan kasarnya dilemparkannya tas itu kesembarang arah. Aku tersentak kaget dari lamunanku, kupikir ia akan mengamuk. Lagi.
“YEAAA!!! WUHUUUU!!!!!!” teriaknya sambil berjingkat-jingkat seperti orang kesetanan. Aku mengernyit. Bingung. Tiba-tiba saja ia memeluk. Erat. Aku merindukannya.
“CALL!!! Kau tahu? tadi di sekolah aku......dan bla bla bla”, ia terus berceloteh panjang. Ia melepaskan pelukannya namun matanya terus memandangku lekat. Matanya begitu cerah dan berbinar, menyorotkan kebahagiannya. Ia begitu antusias saat menceritakannya.
Hari ini ia terlihat bahagia. Aku suka senyumnya yang berlesung pipi itu. Tanpa kusadari aku tersenyum memandangnya.
Ia terus berceloteh panjang lebar. “Kau tahu Call?? Ahhh… kau mungkin tidak pernah tahu… Tapi aku janji akan memberitahumu nanti. Kau pasti senang!! Oh iya… ada yang ingin ku tunjukan padamu. Ayo cepat!!”, ia segera menarik tanganku dan membawanya entah kemana, meninggalkan sebuah ayunan yang berayun di bawah pohon rindang itu. Iya. Kau benar. Aku selalu menunggunya disana. Di taman itu. Aku tak pernah bosan menunggunya. Ia selalu memintaku untuk menunggu disini. Dan aku percaya, ia akan selalu datang padaku.
Ia terus menggenggamku erat dan berjalan cepat. Aku teringat!! Tas mu, tertinggal. Baru aku ingin mengatakannya, tiba-tiba ia berhenti. “Oh iya!! Tasku!!”, ia menepuk dahinya. Kebiasaannya. Ia memang tak pernah berubah. Pelupa. Oh bukan pelupa tapi pikun kurasa. Ia segera berbalik arah. Kupikir ia akan menyuruhku menunggu disisni, tapi ia tak pernah melepas genggamannya. Ia terus menggenggam tanganku sambil berlari kembali menuju taman itu.
“Huh…, seharusnya kau mengingatkanku Call! Kau kan tahu aku pelupa”, ia melirikku kesal sambil mengambil tasnya asal. Tapi ia tak pernah melepas genggamannya. Aku baru ingin mengatakan bahwa aku juga lupa tentang tasnya yang tertinggal itu, tapi ia sudah menarikku kembali ke tempat yang ingin ia tuju. “Hah.., sudahlah Call. Ayo cepat!!”, kali ini ia mengajakku berlari.
Kami berlari di bawah langit sore yang mulai berwarna jingga di ikuti oleh sang mentari yang ingin meninggalkan langitnya. Aku merasa seperti di dalam sebuah film, berlari dibawah langit jingga dan ditemani daun-daun berguguran yang tertiup angin. Aku tersenyum melihatnya, ia juga tersenyum padaku dibawah cahaya jingga yang menyorot wajah cantiknya. Ia terlihat semakin cantik.
Ia membawaku kedalam rumahnya. Rumahnya begitu mewah dan megah, dilengkapi dengan kolam renang, taman, dan sebuah gazebo. Aduh kok jadi eror gini sih?
Di tempat inilah ia selalu berbagi cerita padaku, menangis didepanku, tertawa dihadapanku dan bernyanyi-nyanyi aneh denganku, tanpa pikir panjang ia langsung memberi tahu hal yang membuatnya bahagia. Ia memberi tahuku tentang hasil ulangannya yang begitu memuaskan, ia bercerita tentang temen-teman barunya yang begitu menyenangkan dan ia memberi tahuku bahwa ia diberikan sebuah tiket menonton. Ia begitu gembira.
“Kau tahu Call? Ini yang ingin kutunjukkan padamu, tiket menonton”, katanya sambil mengibas-ngibaskan tiket tersebut dan berjingkat-jingkat di depanku. Aneh memang. Tapi bagiku itu tidak aneh, sebab selama ini yang kutahu ia hanya punya satu teman yaitu aku. Ia anak yang pemalu, lebih suka menyendiri, tidak suka bergaul. Aku ingin agar ia memiliki banyak teman. Aku tersenyum sendiri memandangnya.
“Kau mau ikut? Teman-temanku bilang aku juga boleh mengajakmu. Mereka tidak keberatan jika aku mengajakmu Call. Bagaimana? Kau mau ikut kan?”, ia mengatakan dengan amat sangat tenang dan diakhiri dengan ekspersi yang memohon. Aku terkejut bukan main, seperti sedang berjalan di cuaca yang cerah, tiba-tiba tersambar petir ribuan watt. Oh itu berlebihan. Tapi aku memang benar-benar terkejut. Tak kusangka ia akan mengajakku.
Aku hanya memandangnya bingung tanpa mengucap sepatah katapun dan tidak menjawab pertanyaannya. Hanya kata ‘Ya’ atau ‘Tidak’, kata yang begitu singkat dan mudah diucapkan. Tapi aku tak bisa, aku mendadak bisu. Aku masih terkejut dengan penuturannya. Tiba-tiba ia merebahkan dirinya di kasur empuknya. “Hahhh……” gumamnya. Aku hanya diam, tak berkutik, tetap duduk di kursi kecil itu sambil memandanginya lekat dan penuh sayang sampai akhirnya ia tertidur. Pulas. Tenang.
Aku memandang langit yang begitu cerah malam ini dari balik jendela kaca, penuh bintang yang bertaburan, seperti pasir di pantai.
Aku teringat dengannya, ketika itu dia masih seorang gadis kecil yang begitu polos, ceria, dan penuh warna. Aku senang karena aku adalah teman berbaginya yang amat ia sayangi.
Janji itu.
Janji yang membuatku terus terikat dengannya.
Janji yang terus ditepatinya.
Janji bahwa kami akan terus bersama.
Membuatku dengannya semakin dekat dan tak terpisahkan seiring berjalannya waktu. Aku senang akhirnya ia mengajakku pergi. Tapi kemudian…
“Call maafkan aku! Kupikir kau disini saja, aku tidak ingin membuatmu kelelahan. Tidak apa kan?”, ia memohon penuh sesal dan tanpa menunggu jawabanku, ia sudah berlalu pergi. Aku tahu itu hanya alasannya. Aku tahu ia akan malu. Aku geram dan kesal. Aku ingin marah padanya. Memakinya. Dan mengatakan bahwa ia jahat padaku. Kejam. Tapi ku urungkan niatku, karena jika ku lakukan itu, mungkin ia akan benar-benar pergi dan meninggalkanku.
Aku terus menstabilkan emosiku. Aku tidak ingin hal sepele menjadi bertele-tele.
Aku bersyukur ia kembali, membawaku ke taman dan menceritakan padaku pengalaman bahagianya bersama teman-teman barunya. Kupikir dengan hadirnya teman baru, ia akan melupakanku tapi ternyata tidak. Setiap hari dan setiap saat ia selalu bersamaku.
Sampai ketika, di suatu sore yang dingin. Aku sedang menunggunya di taman, ia tak kunjung datang. Hujan…. . aku mengkhawatirkannya. Namun rasa khawatirku hilang ketika melihatnya berjalan lesu dibawah guyuran hujan. Aku tahu, dibalik tetesan air hujan yang mengguyurnya, ada air mata yang mengalir deras di pipinya. Ia langsung memelukku. Erat. Bahunya bergetar naik turun disertai dengan isak tangis yang keluar dari bibr mungilnya. Aku benci saat-saat seperti ini. Aku benci melihatnya menangis. Sudah kubilang bahwa aku yang terbaik untukmu. Di bawah guyuran hujan, kubiarkan ia menangis di pelukanku. Ia kembali menyendiri dan bersamaku lagi.
Namun aku salah. Dugaanku tak tepat. Kupikir ia akan benar-benar kembali padaku seutuhnya tapi…tidak. Aku tahu, aku tak dapat berbuat banyak, aku tak dapat memberinya nasihat jika ia butuh, tapi aku selalu mendengarkannya, aku selalu memahaminya, dan aku selalu benar-benar mengerti perasaannya.
Kini aku tergantikan, ia lebih sering bersamanya. Lebih memberikan warna hidupnya. Aku tergantikan. Kini aku tahu, seiring berjalannya waktu, ia akan berubah, ia akan terus bertambah dewasa, ia bukan seorang anak kecil lagi dan ia tidak membutuhkanku lagi. Karena aku hanya sebuah boneka. Boneka kecil, lusuh, dan bau. Yang tak dapat bergerak ataupun berbicara. Ia selalu berkutat dengan benda persegi panjang dan datar itu. Tersenyum-senyum sendiri, berbagai ekspresi tampak di wajahnya.
Kini aku kesepian, berada di sudut ruangan dan berdebu. Seperti seonggok sampah tak berguna. Derap kaki itu kini semakin dekat. Sangat. Ia membuka pintu perlahan, berharap ia membawaku ke taman, bermain dan akan mendengarkan ocehannya kembali. Tapi…, ia masuk tanpa menoleh sedikitpun padaku dan langsung mengambil benda persegi itu lalu berjalan keluar.
Aku hanya bisa memandangnya nanar dan sedih.
Kau melupakanku?
Gadis kecilku telah melupakanku?
Tidakkah kau ingat bahwa aku yang selalu menemanimu?
Selalu mendengar celotehan panjangmu?
Memelukmu ketika kau menangis?
Temanmu sejak kau kecil.
Tidakkah kau ingat janjimu?
Janji kita?
Selalu bersama.
Aku tahu kita akan selalu bersama tapi tak selamanya. Semua ada waktunya.
Aku ingin kau tahu bahwa aku merasa terbuang. Aku sakit hati. Aku ingin marah padamu. Memakimu. Membencimu karena telah mengkhianatiku. Tapi aku tak bisa membencimu, karena aku menyayangimu Rue. Walaupun kau pergi meninggalkanku dan akan melupakanku, ingatlah bahwa aku akan selalu ada disampingmu jika kau tidak membuangku ke tempet pembuangan. Dan jika itu terjadi, aku akan tetap menyayangimu Rue. Teman sejatiku.