Together.
Forever?
*Di
tempat inilah ia selalu bercerita denganku, berbagi tawa dan juga tangisan.*
Terdengar
sayup-sayup derap suara hentakan sepatu menuju ke tempat itu. Tak perlu ku
ragukan, itu pasti dia. Ditempat inilah aku selalu menunggunya, mendengar keluh
kesahnya, mendengar celotehannya dan merasakan hangat kasih sayangnya.
Terkadang aku hanya tersenyum simpul menanggapinya, dan itu hanya akan
membuatnya kesal. Aku suka melihatnya kesal seperti itu. Bibir mungilnya yang selalu
mengerucut, dahinya yang selalu berkerut, dan sorot matanya yang terlihat
kesal. Aku ingin merasakan ini selamanya. Pasti akan terasa indah…
BUK!!!
Dengan
kasarnya dilemparkannya tas itu kesembarang arah. Aku tersentak kaget dari
lamunanku, kupikir ia akan mengamuk. Lagi.
“YEAAA!!!
WUHUUUU!!!!!!” teriaknya sambil berjingkat-jingkat seperti orang kesetanan. Aku
mengernyit. Bingung. Tiba-tiba saja ia memeluk. Erat. Aku merindukannya.
“CALL!!!
Kau tahu? tadi di sekolah aku......dan
bla bla bla”, ia terus berceloteh panjang. Ia melepaskan pelukannya namun
matanya terus memandangku lekat. Matanya begitu cerah dan berbinar, menyorotkan
kebahagiannya. Ia begitu antusias saat menceritakannya.
Hari
ini ia terlihat bahagia. Aku suka senyumnya yang berlesung pipi itu. Tanpa
kusadari aku tersenyum memandangnya.
Ia
terus berceloteh panjang lebar. “Kau tahu Call?? Ahhh… kau mungkin tidak pernah
tahu… Tapi aku janji akan memberitahumu nanti. Kau pasti senang!! Oh iya… ada
yang ingin ku tunjukan padamu. Ayo cepat!!”, ia segera menarik tanganku dan
membawanya entah kemana, meninggalkan sebuah ayunan yang berayun di bawah pohon
rindang itu. Iya. Kau benar. Aku selalu menunggunya disana. Di taman itu. Aku
tak pernah bosan menunggunya. Ia selalu memintaku untuk menunggu disini. Dan
aku percaya, ia akan selalu datang padaku.
Ia
terus menggenggamku erat dan berjalan cepat. Aku teringat!! Tas mu, tertinggal. Baru aku ingin
mengatakannya, tiba-tiba ia berhenti. “Oh iya!! Tasku!!”, ia menepuk dahinya.
Kebiasaannya. Ia memang tak pernah berubah. Pelupa. Oh bukan pelupa tapi pikun
kurasa. Ia segera berbalik arah. Kupikir ia akan menyuruhku menunggu disisni,
tapi ia tak pernah melepas genggamannya. Ia terus menggenggam tanganku sambil
berlari kembali menuju taman itu.
“Huh…,
seharusnya kau mengingatkanku Call! Kau kan tahu aku pelupa”, ia melirikku
kesal sambil mengambil tasnya asal. Tapi ia tak pernah melepas genggamannya.
Aku baru ingin mengatakan bahwa aku juga lupa tentang tasnya yang tertinggal
itu, tapi ia sudah menarikku kembali ke tempat yang ingin ia tuju. “Hah..,
sudahlah Call. Ayo cepat!!”, kali ini ia mengajakku berlari.
Kami
berlari di bawah langit sore yang mulai berwarna jingga di ikuti oleh sang
mentari yang ingin meninggalkan langitnya. Aku merasa seperti di dalam sebuah
film, berlari dibawah langit jingga dan ditemani daun-daun berguguran yang
tertiup angin. Aku tersenyum melihatnya, ia juga tersenyum padaku dibawah
cahaya jingga yang menyorot wajah cantiknya. Ia terlihat semakin cantik.
Ia
membawaku kedalam rumahnya. Rumahnya begitu mewah dan megah, dilengkapi dengan
kolam renang, taman, dan sebuah gazebo. Aduh kok jadi eror gini sih?
Di
tempat inilah ia selalu berbagi cerita padaku, menangis didepanku, tertawa
dihadapanku dan bernyanyi-nyanyi aneh denganku, tanpa pikir panjang ia langsung
memberi tahu hal yang membuatnya bahagia. Ia memberi tahuku tentang hasil
ulangannya yang begitu memuaskan, ia bercerita tentang temen-teman barunya yang
begitu menyenangkan dan ia memberi tahuku bahwa ia diberikan sebuah tiket
menonton. Ia begitu gembira.
“Kau
tahu Call? Ini yang ingin kutunjukkan padamu, tiket menonton”, katanya sambil
mengibas-ngibaskan tiket tersebut dan berjingkat-jingkat di depanku. Aneh memang.
Tapi bagiku itu tidak aneh, sebab selama ini yang kutahu ia hanya punya satu
teman yaitu aku. Ia anak yang pemalu, lebih suka menyendiri, tidak suka
bergaul. Aku ingin agar ia memiliki banyak teman. Aku tersenyum sendiri memandangnya.
“Kau
mau ikut? Teman-temanku bilang aku juga boleh mengajakmu. Mereka tidak keberatan
jika aku mengajakmu Call. Bagaimana? Kau mau ikut kan?”, ia mengatakan dengan
amat sangat tenang dan diakhiri dengan ekspersi yang memohon. Aku terkejut
bukan main, seperti sedang berjalan di cuaca yang cerah, tiba-tiba tersambar
petir ribuan watt. Oh itu berlebihan. Tapi aku memang benar-benar terkejut. Tak
kusangka ia akan mengajakku.
Aku
hanya memandangnya bingung tanpa mengucap sepatah katapun dan tidak menjawab
pertanyaannya. Hanya kata ‘Ya’ atau ‘Tidak’, kata yang begitu singkat dan mudah
diucapkan. Tapi aku tak bisa, aku mendadak bisu. Aku masih terkejut dengan
penuturannya. Tiba-tiba ia merebahkan dirinya di kasur empuknya. “Hahhh……”
gumamnya. Aku hanya diam, tak berkutik, tetap duduk di kursi kecil itu sambil
memandanginya lekat dan penuh sayang sampai akhirnya ia tertidur. Pulas.
Tenang.
Aku
memandang langit yang begitu cerah malam ini dari balik jendela kaca, penuh
bintang yang bertaburan, seperti pasir di pantai.
Aku
teringat dengannya, ketika itu dia masih seorang gadis kecil yang begitu polos,
ceria, dan penuh warna. Aku senang karena aku adalah teman berbaginya yang amat
ia sayangi.
Janji
itu.
Janji
yang membuatku terus terikat dengannya.
Janji
yang terus ditepatinya.
Janji
bahwa kami akan terus bersama.
Membuatku
dengannya semakin dekat dan tak terpisahkan seiring berjalannya waktu. Aku
senang akhirnya ia mengajakku pergi. Tapi kemudian…
“Call
maafkan aku! Kupikir kau disini saja, aku tidak ingin membuatmu kelelahan.
Tidak apa kan?”, ia memohon penuh sesal dan tanpa menunggu jawabanku, ia sudah
berlalu pergi. Aku tahu itu hanya alasannya. Aku tahu ia akan malu. Aku geram
dan kesal. Aku ingin marah padanya. Memakinya. Dan mengatakan bahwa ia jahat
padaku. Kejam. Tapi ku urungkan niatku, karena jika ku lakukan itu, mungkin ia
akan benar-benar pergi dan meninggalkanku.
Aku
terus menstabilkan emosiku. Aku tidak ingin hal sepele menjadi bertele-tele.
Aku
bersyukur ia kembali, membawaku ke taman dan menceritakan padaku pengalaman
bahagianya bersama teman-teman barunya. Kupikir dengan hadirnya teman baru, ia
akan melupakanku tapi ternyata tidak. Setiap hari dan setiap saat ia selalu
bersamaku.
Sampai
ketika, di suatu sore yang dingin. Aku sedang menunggunya di taman, ia tak
kunjung datang. Hujan…. . aku mengkhawatirkannya. Namun rasa khawatirku hilang
ketika melihatnya berjalan lesu dibawah guyuran hujan. Aku tahu, dibalik
tetesan air hujan yang mengguyurnya, ada air mata yang mengalir deras di
pipinya. Ia langsung memelukku. Erat. Bahunya bergetar naik turun disertai dengan
isak tangis yang keluar dari bibr mungilnya. Aku benci saat-saat seperti ini.
Aku benci melihatnya menangis. Sudah kubilang bahwa aku yang terbaik untukmu.
Di bawah guyuran hujan, kubiarkan ia menangis di pelukanku. Ia kembali
menyendiri dan bersamaku lagi.
Namun
aku salah. Dugaanku tak tepat. Kupikir ia akan benar-benar kembali padaku
seutuhnya tapi…tidak. Aku tahu, aku tak dapat berbuat banyak, aku tak dapat
memberinya nasihat jika ia butuh, tapi aku selalu mendengarkannya, aku selalu
memahaminya, dan aku selalu benar-benar mengerti perasaannya.
Kini
aku tergantikan, ia lebih sering bersamanya. Lebih memberikan warna hidupnya.
Aku tergantikan. Kini aku tahu, seiring berjalannya waktu, ia akan berubah, ia
akan terus bertambah dewasa, ia bukan seorang anak kecil lagi dan ia tidak
membutuhkanku lagi. Karena aku hanya sebuah boneka. Boneka kecil, lusuh, dan
bau. Yang tak dapat bergerak ataupun berbicara. Ia selalu berkutat dengan benda
persegi panjang dan datar itu. Tersenyum-senyum sendiri, berbagai ekspresi
tampak di wajahnya.
Kini
aku kesepian, berada di sudut ruangan dan berdebu. Seperti seonggok sampah tak
berguna. Derap kaki itu kini semakin dekat. Sangat. Ia membuka pintu perlahan,
berharap ia membawaku ke taman, bermain dan akan mendengarkan ocehannya
kembali. Tapi…, ia masuk tanpa menoleh sedikitpun padaku dan langsung mengambil
benda persegi itu lalu berjalan keluar.
Aku
hanya bisa memandangnya nanar dan sedih.
Kau
melupakanku?
Gadis
kecilku telah melupakanku?
Tidakkah
kau ingat bahwa aku yang selalu menemanimu?
Selalu
mendengar celotehan panjangmu?
Memelukmu
ketika kau menangis?
Temanmu
sejak kau kecil.
Tidakkah
kau ingat janjimu?
Janji
kita?
Selalu
bersama.
Aku
tahu kita akan selalu bersama tapi tak selamanya. Semua ada waktunya.
Aku
ingin kau tahu bahwa aku merasa terbuang. Aku sakit hati. Aku ingin marah
padamu. Memakimu. Membencimu karena telah mengkhianatiku. Tapi aku tak bisa
membencimu, karena aku menyayangimu Rue. Walaupun kau pergi meninggalkanku dan
akan melupakanku, ingatlah bahwa aku akan selalu ada disampingmu jika kau tidak
membuangku ke tempet pembuangan. Dan jika itu terjadi, aku akan tetap
menyayangimu Rue. Teman sejatiku.